Sejarah

Pada awalnya daerah ini adalah sebuah hutan belantara sebelum berbentuk menjadi sebuah desa. Dan tidak lama kemudian sekitar pertengahan abad 18 (setelah kolonial Belanda masuk) datanglah tiga orang laki-laki sekaligus merupakan salah satu tokoh Islam yaitu Mbah Sedayu, Mbah Sanggar dan Mbah Wates. Dalam perjalanannya ketiga tokoh Islam tersebut mempunyai wilayah tersendiri dalam satu wilayah Tanggulangin yang mereka temukan sebelumnya, yaitu mendirikan suatu desa atau permukiman sekaligus menyebarkan agama Islam.
Selang beberapa bulan terdengar bahwa dua dari ketiga tokoh lainnya (Mbah Sanngar dan Mbah Wates) telah membentuk desa dan memberikan desa tersebut sebuah nama desa Boro dan Desa Kali Tengah.
Pada saat itu pula keinginan Mbah Sedayu untuk memberikan sebuah nama pada desanya belum kesampaian terhambat akan tugasnya sebagai penyiar agama Islam. Beberapa tahun kemudian terdengar adanya pertikaian di beberapa desa akan tetapi sebaliknya desa tempat tinggal Mbah Sedayu tresebut tidak terdapat adanya konflik ataupun pertikaian, tidak lama ke-mudian Mbah Sedayu mempunyai sebuah nama yang tepat dan tak lama kemudian Mbah Sedayu dengan warga setempat berunding untuk menamakan desa tersebut denga nama yang diambil dari kata Kludangan (sebuah kata dalam bahasa Jawa) yang artinya sesuai yang dialami desa tersebut yaitu tidak pernah ada masalah, adem ayem (aman dan tentram) Kemudian disingkat menjadi kata Kludan dan akhirnya terbentuklah sebuah desa dengan nama Kludan.

Wilayah desa Kludan.
Secara geografis desa kludan mempunyai luas 81,967 Ha, terbagi menjadi tiga bagian yaitu Kludan kidul (RW 01), Kludan Lor (RW 02) dan Kludan wetan (RW 03 – RW 04). Batas wilayah desa kludan, di sebelah utara berbatasan dengan desa Boro kecamatan Tanggulangin. Di sebelah selatan berbatasan dengan kali sampurno. Di sebelah timur berbatasan dengan desa Kali tengah dan di sebelah barat berbatasan dengan desa Kedensari.



Dinamika masyarakat Kludan
Daerah Kludan dulu berupa area hutan, tetapi setelah datangnya Mbah Sedayu, area tersebut diubah sebagian menjadi sawah dan kemudian datanglah para pendatang yang singgah di desa Kludan dan menetap disana.
Hingga pada tahun 1950-an muncul inisiatif dari beberapa orang yang berusaha untuk menciptakan sebuah tas . Saat itu tas yang dibuat adalah tas konvensional yang terbuat dari anyaman dengan 2 buah pegangan. Setelah beberapa tahun, kerajinan tas berkembang dengan pesat.
Pada tahun 1976 muncullah sebuah koperasi yang sampai saat ini masih eksis yaitu INTAKO. Hasil dari kerjasama antara masyarakat dengan INTAKO adalah berbuah sebuah penghargaan “Upakarti” yang diberikan secara langsung oleh Presiden RI pada tahun 1986. Kemudian disusul dengan penghargaan-penghargaan seperti : Juara 1 nasional Gugus kendali Mutu, Juara 1 koperasi Andalan utama (1993-1997).
Dan kini home industri di Desa yang berpenduduk 4.125 orang (2.211 Laki-laki dan 1.914 Perempun) ini telah mampu bertahan ± 50 tahun meskipun di hadang oleh beberapa masalah seperti krisis moneter 1998 yang mampu memporak-porandakan industri tas dan koper di tanggulangin, Lumpur Lapindo dll. Sampai saat ini penduduk Kludan yang berprofesi sebagai pengrajin tas dan kulit tercatat sebanyak 128 orang (Tidak termasuk non penduduk). Mereka tetap eksis berkarya untuk membuat kerajian tas dan koper yang mana akan diwariskan kepada anak cucu mereka.

Dukungan Pemda untuk Desa Kludan
Sidoarjo sudah mulai menampakkan lagi kebangkitannya untuk menyelamatkan semua rakyatnya dari keterpurukan dampak lumpur lapindo. Seperti halnya Intako – Industri Tas dan Koper di Tanggulangin. Sebagian orang yang belum tahu di mana tepatnya lumpur lapindo terjadi, menganggap industri yang terletak di Tanggulangin ini sudah tenggelam. Padahal tidak demikian, industri ini masih ada dan tetap berusaha bangkit meraih kejayaannya seperti sebelum terjadi bencana lumpur.
Luapan lumpur panas Lapindo memang berpengaruh langsung terhadap kelangsungan industri tas dan koper di Tanggulangin. Kini, para perajin mulai berusaha untuk membangun kembali mimpi mereka agar industri ini kembali hidup. Strategi jemput bola di berbagai kota di Indonesia, dengan melakukan road show untuk mengenalkan kerajinan Tanggulangin, sekaligus memberitahu bahwa kerajinan Tanggulangin tidak tenggelam oleh lumpur lapindo.
Road show yang sebagian dananya disumbang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo tersebut terbukti efektif membangkitkan Tanggulangin. Jika pada 2006, luapan lumpur melumpuhkan 80 persen sentra industri kebanggaan Sidoarjo itu, berkat ngamen, omzet dan penjualan mulai berangsur pulih. Setelah yakin industri yang berpusat di Desa Kedensari dan Desa Kludan itu mulai pulih, para perajin semakin percaya diri untuk mendatangkan pembeli ke tempat usahanya meskipun omset yang didapat belum kembali seperti sebelum adanya luapan lumpur lapindo. (FH/RR)

0 komentar:

Posting Komentar